Bulan ini merupakan bulan
bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai
belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual
ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak
sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat,
kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama
melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Selain ibadah haji,
pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir
diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir
bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada
yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta
alam.
Pada hari itu, kaum
muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan
untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini
bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni
Nabi Ismail.
Peristiwa ini
memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah
menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk
menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara
melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi
tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun
karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada
akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat
102-109.
Kisah tersebut
merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai
Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi
Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan.
Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai
media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk
kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah
memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan
telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul
Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh
dan taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada
pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita
ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan
seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu
menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada
dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot.
Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah)
adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih,
agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas
bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220
)
Nabi Ismail
rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda
dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka
lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru
sebaliknya?.
Para teroris dan
pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam
menjaga hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri—
justru mencelakakan dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh
rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah
lagi, mereka bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan
menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang
kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana
”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam
Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran
tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas
negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak
prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam
melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang
lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini
justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang
semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang
bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak
bermakna.
Semoga dengan
peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula
Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus
menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha,
bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada
dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni
kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan
berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental.
Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual
keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas
kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban.
Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan
disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa
kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial,
mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu
pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan
dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu
menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks
secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa
kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita
jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas
kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam
yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun
tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan.
Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan
sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.